Senin, 30 Maret 2015

PRINSIP ADMINISTRASI HENRY FAYOL DAN MANAJEMEN PENDIDIKAN TONY BUSH




PRINSIP ADMINISTRASI HENRY  FAYOL DAN
MANAJEMEN PENDIDIKAN TONY BUSH

TUGAS :
1.      Ada beberapa prinsip administrasi yang dikemukakan oleh Henry Fayol. Menurut saudara apakah prinsip-prinsip tersebut masih relevan dengan kondisi tata kelola lembaga pendidikan saat ini ? jika relevan berikan alasannya dan jika tidak relevan berikan juga alasannya ?.
2.      Tony Bush salah seorang ahli manajemen dan redaktur salah satu jurnal Educational Manajement, beliau mengemukakan 6 pendekatan manajemen pendidikan, sebutkanlah ke-6 pendekatan/teori yang dimaksud, kemudian jelaskanlah pendekatan teori mana yang paling sesuai dengan kondisi organisasi lembaga pendidikan di daerah saudara ?.

JAWAB :
1.      Fayol mengembangkan teori yang memusatkan perhatiannya pada pemecahan masalah-masalah fungsional kegiatan administrasi. Menurut Fayol kegiatan administrasi dapatdipecah secara fungsional dalam 5 fungsi, yaitu
a.   Planning atau perencanaan
b.   Organizing atau pengorganisasian
c.   Command atau perintah
d.   Coordination atau koordinasi
e.   Control atau pengawasan

Kelima elemen fungsional dari administrasi ini kemudian menjadi landasan bagi fungsi dasar manajemen. Dalam karyanya yang sama, Fayol juga mengemukakan 14 prinsip yang menyeluruh yang digunakan sebagai petunjuk bagi manajer, yaitu
a.

Pembagian kerja
b.

Wewenang dan tanggung jawab
c.

Disiplin
d.

Kesatuan dalam perintah
e.

Kesatuan arah
f.

Mengutamakan kepentingan umum (general interest) di atas kepentingan individu
g.

Pemberian upah bagi pekerja
h.

Sentralisasi
i.

Rantai perintah
j.

Ketertiban
k.

Keadilan
l.

Kestabilan masa kerja pekerja
m.

Inisiatif
n.

Semangat jiwa kesatuan atau korps.
Dari prinsip-prinsip tersebut dapat dilihat bahwa tujuh prinsip di antaranya berkaitan dengan rantai perintah dan alokasi kewenangan. Sedangkan dua prinsip lainnya berkaitan dengan keadilan dalam sistem dan dua lainnya berkaitan dengan stabilitas dan ketertiban.
Menurut Fayol, jumlah dan prinsip-prinsip tersebut tidaklah merupakan harga mati, artinya jika dari pengalaman ternyata muncul prinsip baru, maka penambahan prinsip itu bukanlah masalah yang penting.
Menurut Fayol, hal yang lebih penting adalah bahwa prinsip-prinsip tersebut dapat diterapkan dalam setiap organisasi. Ini merupakan hal yang baru dalam perkembangan teori organisasi karena asas universalitas mulai dikenal dan dipergunakan dalam perkembangan dan penerapan teori organisasi.
Dari uraian di atas, prinsip-prinsip manajemen yang dikemukakan oleh Henry Fayol masih relevan diterapkan dalam tata kelola pendidikan saat ini. Hal itu dikarenakan tata kelola pendidikan pada dasarnya sama dengan tata kelola dalam dunia bisnis hanya saja produk dari dunia pendidikan berujud peningkatan kemampuan dan karakter dari manusia. Karena produk dari dunia pendidikan berujud peningkatan kemampuan dan karakter dari manusia maka dalam proses pelaksanaanya tidak sama dengan yang dilakukan di dunia bisnis. Dunia pendidikan dapat menerapkan prinsip-prinsip manajemen dari Henry Fayol tapi dengan dilandasi bahwa pencapaian target (peningkatan kemampuan dan pembentukan karakter siswa) tidak dapat dilakukan dalam waktu yang cepat atau  serta merta, namun target tersebut dapat dicapai dalam waktu yang relatif agak lama.


2.      Tony Bush salah seorang ahli manajemen dan redaktur salah satu jurnal Educational Manajement, beliau mengemukakan 6 pendekatan manajemen pendidikan antara lain sebagai berikut :

1)      Formal Models

Formal Models beranggapan bahwa lembaga/organisasi adalah sistem hirarki yang di dalamnya menejer mempergunakan cara –cara rasional guna mencapai tujuan yang telah disepakati. Para menejer memiliki kekuasaan yang disahkan oleh kedudukan formal mereka dalam lembaga tersebut dan berhak mensponsori badan/lembaga untuk kegiatan organisasi atau lembaganya (Bush, 2003, p.37).
Model ini memiliki tujuh  keutamaan:
  1. Model tersebut memberlakukan lembaga/organisasi sebagai system. Sebuah system yang di dalamnya terdiri  dari berbagai elemen kelembagaan yang satu  dengan lainnya saling berhubungan. Termasuk sekolah, sebagai contoh, seluruh bagian dan sub unit berhubungan satu dengan lainnya secara sistimatis.
  2. Formal Models memberikan kedudukan penting kepada pemegang kewenangan dalam organisasi tersebut. Susunan formal sering digambarkan dalam struktur organisasi , yang menunjukkan hubungan dan urutan kewenangan antar anggota dalam lembaga tersebut.
  3. Dalam Formal Models susunan kewenangan dalam organisasi/lembaga bersifat hirarki (yang merupakan alat control para pemimpin atas stafnya). Para guru bertanggung jawab kepada para ketua bidang yang secara berkala memberikan pelaporan atas semua kegiatan di departemennya kepada kepala sekolah.  
  4. Semua pendekatan formal menggambarkan sekolah sebagai lembaga atau sarana pencapaian tujuan. Lembaga tersebut dianggap memiliki tujuan resmi yang dapat diterima dan diusahakan pencapaiannya oleh seluruh anggota organisasi tersebut. Tujuan itu senndiri penetapannya disesuaikan dengan perkembangan dan perubahan visii sekolah tersebut.
  5. Segala keputusan yang dihasilkan/diambil merupakan hasil dari pemikiran yang seksama. Semua pilihan (yang merupakan keputusan) dipertimbangkan dan dievaluasi  dalam rangla pencapaian tujuan lembaga.
  6. Pendekatan - pendekatan formal menghadirkan kewenangan para pemimpin karena jabatannya.
  7. Adanya penekanan khusus berkenaan dengan pertanggungjawaban lembaga kepada pihak sponsor.  Di Negara penganut sistim sentralisasi, kepala sekolah bertanggung jawab kepada pemerintah pusat, sedang pada sistim desentralisasi mereka bertanggung jawab kepada pemerintah daerah. Ketujuh cirri utama di atas hadir dengan kelbihan dan kekurangannya masing-masing, namun kesemuanya adalah merupakan bagian dari “Formal Models”.

2)      Collegial Models

Hal terpenting dari model ini (yang popular ssejak tahun1980-an) mencakup keseluruhan teori yang menekankan bahwa pengambilan keputusan penting berkenaan dengan tujuan lembaga yang hendak dicapai melalui proses musyawarah. Kewenangan diberikan kepada individu – individu yang dipandang berhak memiliki pemahaman terhadap tujuan lembaga (Bush 2003). “selagi para guru mendiskusikan dan mengerjakan segala sesuatunya bersama-sama itulah kolegalitas” (Brundrett 1998 p. 305); “… sesuatu akan dicapai manakala para guru bekerjasama , dan sesuatu akan hilang bila mereka tidak bekerjasama” Little (1990 p. 166).
Collegial Models dan keutamaannya:
  1. Bersifat Normatif. Keyakinan mendasar dari kolegalitas terbentuk berdasarkan rencana atau pertimbangan belaka, dan tidak berdasar pada hasil penelitian pelaksanaan pendidikan.
  2. Model ini tampaknya cocok penerapannya pada lembaga seprti sekolah  perguruan tinggi yang secara signifikan memiliki sejumlah tenaga professional. Guru, selain memiliki kewenangan untuk mempraktikkan keahliannya, kewenangan untuk mengatur dan mengelola kegiatan kelasnya dalam rangka pencapaian tujuan,  mereka juga perlu bekerja sama untuk menentukan pendekatan filosofis yang cocok untuk kegiatan belajar mengajar (Brundrett, 1998, p. 307). Para professional memiliki hak berperanserta dalam proses pengambilan keputusan. Segala keputusan lebih baik diinformasikan, dan lebih penting dari itu dapat terlaksana secara efektif.
  3. Mereka beranggapan bahwa norma umum yang dilaksanakan anggota organisasi mngarahkan  kegiatan managerial lembaga meraih. tujuan kependidikan. Norma umum para professional menyatakan keoptimisan bahwa selalu mungkin untuk mencapai kesepakatan yang berkenaan dengan tujuan-tujuan dan kebijakan lembaga. “shared vision” mendasari mereka dalam pengambilan keputusan.
  4. Jumlah peserta dalam pengambilan keputusan merupakan elemen penting. Makin sedikit orang berarti pendapat orang perorang makin dapat didengar dan diperhatikan. Barangkali model ini dapat bekerja dengan baik di lembaga pendidikan tingkat dasar (SD) atau sub-unit, dari pada lembaga tingkat menengah. Di sekolah lanjutan dan perguruan tinggi pertemuan seluruh staff biasanya hanya diperuntukkan pertukaran informasi. Model in  memahami dan mengatasi kesulitan tersebut dengan membangun asumsi bahwa guru memiliki perwakilan formal.
  5. Keputusan tercapai karena konsensus. Keyakinan bahwa ada nilai-nilai umum dan tujuan bersama meyakinkan mereka bahwa dapatlah kiranya dikehendaki dan dimungkinkan untuk memecahkan permasalahan dengan kesepakatan. Proses pencapaian keputusan bisa jadi diperlama dengan pencarian kesepakatan; tetapi ini berkenaan dengan sesuatu yang berharga dan dapat diterima sebagai upaya menjaga aura nilai-nilai dan keyajinan bersama. (Bush, 2003, p. 65-67).

3)      Political Models

Political Models mencakup segala teori yang menggolongkan penetapan keputusan merupakan proses penawaran. Analisis focus pada pembagian kekuasaan dan pengaruh dalam organisasi dan pada penawaran dan perundingan antara kelompok yang berkepentingan. Konflik dipandang sebagai endemik (terjadi pada ranah tertentu dan sering serta biasa terjadi) dalam organisasi, dan management diarahkan pada aturan yang sesuai dengan perilaku politik. (Bush, 2003, p. 89). Baldridge’s (1971) meneliti di universitas di U.S. menyimpulkan bahwa Political Models dibanding dengan pandangan Formal dan Collegial Models, merupakan model yang paling tepat dan sesuai dengan dengan kehidupan nyata di pendidikan yang lebih tinggi. Keutamaan Political Models meliputi:
  1. Mereka lebih mengutamakan kegiatan kelompok dari pada lembaga sebagai keseluruhan. Ball (1987) merujuk pada “baronial politics” (p.221) dan menguraikan bagaimana konflik antar pimpinan kelompok-kelompok kecil terjadi. Konflik antar “baron” utamanya berkenaan dengan segala sumber (segala hal yang menopang kelangsunagn hidup kelompok) dan kekuasaan.
  2. Menekankan diri pada kepentingan (tujuan kelompok) dan kelompok yang berkepentingan. Setiap individu menjadi anggota kelompok lebih dikarenakan mereka memiliki berbagi kepentingan(tujuan, nilai, keinginan pengharapan, dan orientasi lainnya)  pribadi yang menuntunnya untuk berbuat sesuai dengan caranya. (Morgan, 1997, p. 61).
  3. Model ini menekankan penghentian konflik di organisasi. Kelompok-kelompok kepentingan mencoba mencapai tujuannya masing-masing., yang terkadang sangat berbeda dengan tujuan sub-sub unit yang ada dalam organisasi dan mendorong terjadinya konflik di antara mereka. “Konflik akan selalu hadir daalam organisasi….  Yang penyebabnya adalah perbedaan berbagai kepentingan” Morgan, 1997, p. 167).
  4. Mereka beranggapan bahwa tujuan organisasi itu tak tetap, ambigu bermakna ganda), dan dipertunjukkan (kamilah yang paling…). Orang perorangan, kelompok-kelompok kepentingan dan koalisi mempunyai tujuan, dan masing-masing bergerak untuk  pencapaiannya,” …serta berusaha mengadakan tawar menawar dengan sesama anggota atau koalisi untuk mempengaruhi penetuan tujuan dan proses pembuatan keputusan” (Bolman & Deal, 1991, p. 190).
  5. “Tujuan-tujuan dan keputusan organisasi merupakan hasil dari proses tawar-menawar, diskusidan, perjokian (usaha mencapai tujuan pribadi dengan memanfaatkan orang lain / pihak koalisi) untuk memperoleh kedudukan / pengaruh anggota dari berbagai koalis” (Bolman & Deal, 1991, p. 185).
  6. Central dari Political Theories (teori politik) adalah KEKUASAAN. Hasil dari proses pengambilan keputusan yang rumit (perdebatan sengit) lebih ditentukan berdasarkan kekuatan relatif dari para individu dan kelompok kepentingan yang terlibat. “Kekuasaan/Kekuatan merupakan media /alat untuk menyelesaikan segala bentuk konflik kepentingan. Kekuatan/kekuasaan mempengaruhi/menentukan siapa yang dapat apa, kapan dan bagaimana . . . sumber kekuasaan adalah kaya (uang, kewenangan dan pengaruh, ssrta factor pendukung lain) dan beragam” (Morgan, 1997, p. 170-171)
4)      Subjective Models

Subjective Model focus pada anggotanya, bukan pada organisasi secara keseluruhan dan sub-sub unitnya. Masing-masing personal memiliki (subjektifitas) pandangan yang berbeda-beda terhadap organisasi. Situasi dan setiap peristiwa memiliki arti yang berbeda untuk setiap anggota organisasi. Organisasi digambarkan sebagai unit-unit yang komplek, yang merefleksikan berbagai makna dan persepsi orang-orang di dalamnya. Organisasi merupakan manifestasi (perwujudan)  nilai-nilai dan keyakinan individu bukan kenyataan konkrit seperti ditunjukkan dalam Formal Models.
 “Sujective Models mengaanggap bahwa organisasi merupakan kreasi/karya orang-orang yang terlibat di dalamnya. Anggota berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menerjemahkan berbagai situasi dalam berbagai cara dan persepsi perorangan itu didasari latar belakang dan nilai-nilai yang mereka miliki. Organisasi memiliki makna yang berbeda-beda untuk setiap anggota sesuai dengan latar belakang pengalamannya. (P. 113) Mulai terkenal   dalam manajemen kependidikan sebagai hasil usaha Thomas Greenfield di era 1970-an dan 1980-an. Greenfield konsern pada beberapa aspek teori pendukund yang menurutnya   cocok dan dominan di dalam organisasi kependidikan. Menurutnya teori pendukung merupakan “bad theory” yang focus pada lembaga sebagai seperti adanya.  Mereka focus pada keyakinan dan persepsi dari para anggotanya, bukan pada tingkat kelembagaan atau kelompok-kelompok kepentingan; dan ini merupakan perbedaan mendasar antara Subjective Models dan Formal Models, dant Hodgkinson (1993) memendang nya sebagai pemisashan yang tak mungkin terjembatani. “Kenyataan tak akan pernah lepas dari kebaikan dan keburukan (sebuah keyakinan), dan perorangan tidak akan pernah menjadi tim” (p. xii)’
Keutamaan dari interpretive or qualitative research sesuai ideyang dikemukakan Subjective Models:
  1. Focus pada penanggapan individual dari pada keseluruhan organisasi. Subjek pandangan individu merupakan isu sentral dalam penelitian kualitatif (Morison, 2002, p. 19).
  2. Menekankan pada pemaknaan atau interpretasi, didasarkan pada kegiatan para anggota. “Seluruh kehidupan manusia terjalani dan terbangun dari subjektifitas sudut pandang” (Morrison, 2002, p. 19).
  3. Hasil penelitian diinterpretasikan menggunakan teori yang terpisah-pisah. “Teori harus baru dan sedang/masih berkembang dan harus muncul dari situasi tertentu; haruslah terurai pada data hasil penelitian. Theory seharusnya tidak menyimpang dari penelitian tetapi mengikutinya” (Cohen et al, 2000, p.23)







5)      Ambiguity Models

Keutamaan Sentral Ambiguity Models
Dalam organisasi, model ini menekankan ketidakmenentuan dan ketidakpastian (ambiguitas). (Bush, 2003): Ambiguity Models menganggap bahwa ketidakpastian dan  situasi yang tak menentu merupakan keutamaan yang dominan dalam organisasi. Tidak ada kejelasan tujuan lembaga, serta prose mereka tidak mudah untuk dipahami.  
Ambiguity models tergabung dengan sebuah grup (para ahli teori), kebanyakan dari U.S. yeng membangun semua ide meraka di era 1970-an.mereka kecewa terhadap Formal Models, yang mereka pandang tidak cocok untuk kebanyakan organisasi. Julukan dari Ambiguity perspective adalah the “garbage can” model (tong sampah), yang dekembangkan oleh Chohen and March (1986). Segalanya terjadi hanya sekejap (sekali); teknologi berubah dan sulit dimengerti; persekutuan, kepentingan/keutamaan, danpersepsi berubah; masalah, solusi, kesempatan, penalaran/ide, manusia, serta hasil menyatu pada satu cara yang membuat interpretasi mereka tidak jelas dan hubungannya juga tak jelas (March, p. 36).
Keutamaan Ambiguity Models:
  1. Tidak ada kejelasan berkenaan dengan tujuan organisasi. Banyak lembaga dianggap memiliki tujuan yang tidak pasti dan sulit untuk dipahami, dengan kata lain tujuan dan maksud menjadi hanya melalui pola laku anggota – anggota organisasi (Chohan & March, 1986). Organisasi ada untuk bekerja pada berbagai ketidakpastian dan miskin skala prioritas. Mereka lebih sering menemukan skala prioritas (mana yang lebih utama) melalu aksi/tindakan, tidak bertindak berdasarkan skala prioritas (p. 3). Lembaga Kependidikan yang ada dipandang sebagai organsiasi penerap model tersebut. Sebab guru bekerja dengan leluasanya (merdeka), boleh jadi jarang menemui kesulitan dalam pencapaian keinginannya. 
  2. Organisasi memiliki permasalahan pemahaman terhadap tindakan/proses mereka yang sulit dipahami. Di dalam pendidikan, tidaklah jelas bagaimana siswa memperoleh pengetahuan dan ketrampilan sehingga proses pengajaran diliputi keraguan dan ketidakpastian. Bell (1980) menyatakan bahwa ketidakpastian memasuki fungsi sentrl sekolah.
  3. Teori ambiguity (ketidakpastian) berpendapat bahwa organisasi dipersamakan dengan pembabagan (layaknya drama). Sekolah dibagi menjadibeberapa kelompok yang memiliki emikiran/tujuan internal berdasar nilai-nilai dan tujuan umum. Hubungan antar kelompok lemah, tidak menentu dan tak terduga. Weick (1976) menggunakan istilah “loose coupling” untuk menggambarkan hubungan antar sub- unit. “Loose coupling . . . membawa konotasi dari ketidaktetapan, kebuntuan (sesuatu masalah tak terpecahkan), dan kehampaan yang kesemuanya secara secara potensial merupakan kelengkapan perekat (lem)” (p.3) yang menjalankan organisasi bersama.
  4. Dengan model tersebut, struktur keorganisasian dipandang sebagai permasalahan. Seluruh komite dan lembaga formal  memiliki hak dan tanggungjawab, yang saling melampaui kewenangannya dan dengan kewenangan yang diberikan kepada manager perseorangan. Kekuasaan efektif dari setiap elemen dalam struktur berbeda dengan persoalan dan sesuai dengan tingkatan partisipasi anggota komite.
  5. Model ini lebih cocok untuk organisasi professional pelayanan pelanggan (biro jasa konsultasi). Persyaratan bahwa para professional membuat keputusan individual, dari pada bertindak dalam ketentuan rumusan managerial, menuntun pada pandangan bahwa sekolah dan perguruan tinggi yang lebih besar bertidak dalam suasana ketidakpastian.
  6. Mereka menyatakan adanya alur/aliran partisipasi managemen organisasi. “Partisipan didalam organisasi saling berbeda dalam waktu dan usaha yang mereka berikan kepada organisasi; partisipan secara individu berbeda dari waktu ke waktu. Sebagai hasil teori standar dari kekuasaan dan kegiatan memiih tampaknya tidak penting.” (Chohen &March, 1986, p. 3).
  7. Sumber lain dari teori ketidakpastian disediakan pesan-pesan yang dihasilkam oleh lingkungan organisasi. Pada era di mana perubahan terjadi dengan cepatnya (rapid change), sekolah boleh jadi menghadapi berbagai kesulitan dalam pemahaman bebagai rmacam pesanyang disalurkan lewat lingkungan  dan bertautan ketidaksepahaman dari pesan-pesan tersebut. Ketidakpastian yang timbul dari luar menambah ketidakpastian dari proses pembuatan keputusan dalam lembaga.
  8. Teori ini mengedepankan hasil keputusan yang tak terencana. Tidak adanya tujuan yang disepakati berarti segala keputusan tak punya keutamaan (tak focus). Persoalan, solusi, hubungan antara anggota pilihan dengan takterduga muncul melalu siatuasi kebingungan.
  9. Menekankan pada keuntungan dari sistem desentralisasi. Dengan memberikan keruwetan dan ketidakpastian pada organisasi, diharapkan bahwa banyak keputusan sebaiknya dibebankan kepada sun-sub unit dan perorangan. Weick (1976) berpendapat bahwa pembebanan memungkinkan organisasi tetap hidup, sedangkan sub-unit tertentu terancam.
6)      Cultural Models

Apa yang kita maksud dengan culture?
Menekankan diri pada aspek-aspek informal. Fokus pada nilai-nilai, keyakinan, dan norma individual. (Bush, 2003): Cultural Models meyakini bahwa nilai-nilai, keyakinan, serta idiologi merupakan jantung dari organisasi. Individual memiliki ide dan keutamaan, yang mempengaruhi bagaimana mereka bersikap dan bagaimana mereka memandang perilaku anggota lainnya. Norma tersebut menjadi tradisi organisasi, yang terkomunikasikan di dalam grupdan diperkuat dengan lambang/symbol dan ritual (perbuatan) (p. 156). Beare, Caldwell, and Millikan (1992) menyatakan bahwa kultur memungkinkan untuk menjelaskan kualitas unk dari individual dalam organisasi . keunikan adalah perilaku kehidupan, nilai-nilai itu penting, dan mereka seharusnya diayomi.
Societal Culture: societal cultures utamanya membedakan pada tingkatan nilai-nilai dasar; artinya lebih bersifat dapat terus diikuti dan perubahan terjadi untuk waktu yang lama;  sedangkan organizational cultures lebih membedakan untuk tingkatan pelaksanaan/kegiatan yang ada /tampak, dan setiap saat diubah dan diatur.
Keutamaan Organisational Cultures:
  1. Focus pada nilai-nilai dan keyakinan yang dimiliki para nggota organisasi. Focus juga pada pemahaman kultur yang dominan dalam organisasi tetapi tidak serta merta bahwa nilai-nilai individual selalu selaras satu samalainnya. Boleh jadi ada sistem nilai yang berbeda yang menciptakan gambaran  kenyataan-kenyataan keorganisasian dari pada keseragaman kultur yang berlaku. Organisasi-organisasi besar yang memiliki berbagai tujuan, secara khusus tampaknya memiliki berbagai kultur.
  2. Menekankan pengembangan norma-norma yang makna yang dimiliki atau berlaku. Asumsinya bahwa interaksi antar anggota organisasi atau sub gup-nya, suatu waktu menuju pada norma-norma perilaku yang secara bertahap menjadi keutamaan budaya  sekolah atau perguruan tinggi. Norma kelompok ini terkadang mengikuti perkembangan dari monokultur di sekolah dengan faham yang dimiliki dengan perantaraan staff-“the way we do things around here-“inilah cara kami melakukan segalanya di sini. Kami sadari, bagaimanapun, boleh jadi ada beberapa sub-kultur berdasar pada professional dan kepentingan-kepentingan  personal dari kelompok lain. Hal ini secara internal tidak ada masalah, akan tetapi menghadapi kesulitan dalam menjalani hubungan dengan kelompok lain yang norma-norma perilakunya  berbeda. Budaya secara khusus diekspresikan melalui ritual dan upacara, yang digunakan untuk mendukung dan mengungkapkan keyaknan-keyakinan dan norma. Sekolah kaya akan perlambang.  “Perlambang central untuk proses untuk pembentukan makna.” (Hoyle, 1986, p. 152).
  3. Organizational cultur meyakini keberadaan pria dan wanita hebat (dijadikan tokoh panutan/pahlawan) yang engespresikan nilai-nilai dan keyakinan organisasi. Mereka mencontohkan/memerankan  perilaku organisasi.   Champbell-Evan (1993, p. 106)menekankan bahwa pria/wanita panutan (tokoh pahlawan) adalah mereka yang keberhasilanya sesuai dengan budaya yang berlaku.

Dari uraian di atas maka saya berkesimpulan bahwa yang sesuai dengan kondisi organisasi di daerah saya (Kabupaten Kepulauan Anambas Provinsi Kepulauan Riau) yaitu cultural models. Hal ini disebabkan karena di Kepulauan Anambas masih memegang teguh adat istiadat setempat yang berpengaruh pada jalannya organisasi pendidikan di sana. Aturan-aturan atau norma-norma tersebut juga tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang menjadi ideologi bangsa Indonesia. Suatu aturan akan mudah ditaati dan dijalankan jika sesuai dengan kepribadian dari masyarakat tempat aturan tersebut dijalankan, sehingga aturan-aturan atau prinsip-prinsip organisasi dalam culture models akan berjalan lancar dan dapat ditegakkan di sana.

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar