PRINSIP ADMINISTRASI HENRY FAYOL
DAN
MANAJEMEN PENDIDIKAN TONY BUSH
TUGAS :
1.
Ada beberapa prinsip administrasi yang
dikemukakan oleh Henry Fayol. Menurut saudara apakah prinsip-prinsip tersebut
masih relevan dengan kondisi tata kelola lembaga pendidikan saat ini ? jika
relevan berikan alasannya dan jika tidak relevan berikan juga alasannya ?.
2.
Tony Bush salah seorang ahli manajemen dan
redaktur salah satu jurnal Educational Manajement, beliau mengemukakan 6
pendekatan manajemen pendidikan, sebutkanlah ke-6 pendekatan/teori yang
dimaksud, kemudian jelaskanlah pendekatan teori mana yang paling sesuai dengan
kondisi organisasi lembaga pendidikan di daerah saudara ?.
JAWAB :
1. Fayol mengembangkan teori yang
memusatkan perhatiannya pada pemecahan masalah-masalah fungsional kegiatan
administrasi. Menurut Fayol kegiatan administrasi dapatdipecah secara
fungsional dalam 5 fungsi, yaitu
a. Planning atau perencanaan
b. Organizing atau pengorganisasian
c. Command atau perintah
d. Coordination atau koordinasi
e. Control atau pengawasan
a. Planning atau perencanaan
b. Organizing atau pengorganisasian
c. Command atau perintah
d. Coordination atau koordinasi
e. Control atau pengawasan
Kelima elemen fungsional dari administrasi ini kemudian
menjadi landasan bagi fungsi dasar manajemen. Dalam karyanya yang sama, Fayol
juga mengemukakan 14 prinsip yang menyeluruh yang digunakan sebagai petunjuk
bagi manajer, yaitu
a.
|
Pembagian
kerja
|
|
b.
|
Wewenang
dan tanggung jawab
|
|
c.
|
Disiplin
|
|
d.
|
Kesatuan
dalam perintah
|
|
e.
|
Kesatuan
arah
|
|
f.
|
Mengutamakan
kepentingan umum (general interest)
di atas kepentingan individu
|
|
g.
|
Pemberian
upah bagi pekerja
|
|
h.
|
Sentralisasi
|
|
i.
|
Rantai
perintah
|
|
j.
|
Ketertiban
|
|
k.
|
Keadilan
|
|
l.
|
Kestabilan
masa kerja pekerja
|
|
m.
|
Inisiatif
|
|
n.
|
Semangat
jiwa kesatuan atau korps.
|
Dari prinsip-prinsip tersebut dapat dilihat bahwa tujuh
prinsip di antaranya berkaitan dengan rantai perintah dan alokasi kewenangan.
Sedangkan dua prinsip lainnya berkaitan dengan keadilan dalam sistem dan dua
lainnya berkaitan dengan stabilitas dan ketertiban.
Menurut Fayol, jumlah dan prinsip-prinsip tersebut tidaklah
merupakan harga mati, artinya jika dari pengalaman ternyata muncul prinsip
baru, maka penambahan prinsip itu bukanlah masalah yang penting.
Menurut Fayol, hal yang lebih penting adalah bahwa
prinsip-prinsip tersebut dapat diterapkan dalam setiap organisasi. Ini
merupakan hal yang baru dalam perkembangan teori organisasi karena asas
universalitas mulai dikenal dan dipergunakan dalam perkembangan dan penerapan
teori organisasi.
Dari uraian di atas, prinsip-prinsip manajemen yang
dikemukakan oleh Henry Fayol masih relevan diterapkan dalam tata kelola
pendidikan saat ini. Hal itu dikarenakan tata kelola pendidikan pada dasarnya
sama dengan tata kelola dalam dunia bisnis hanya saja produk dari dunia
pendidikan berujud peningkatan kemampuan dan karakter dari manusia. Karena
produk dari dunia pendidikan berujud peningkatan kemampuan dan karakter dari
manusia maka dalam proses pelaksanaanya tidak sama dengan yang dilakukan di
dunia bisnis. Dunia pendidikan dapat menerapkan prinsip-prinsip manajemen dari
Henry Fayol tapi dengan dilandasi bahwa pencapaian target (peningkatan
kemampuan dan pembentukan karakter siswa) tidak dapat dilakukan dalam waktu
yang cepat atau serta merta, namun target
tersebut dapat dicapai dalam waktu yang relatif agak lama.
2. Tony
Bush salah seorang ahli manajemen dan redaktur salah satu jurnal Educational
Manajement, beliau mengemukakan 6 pendekatan manajemen pendidikan antara lain
sebagai berikut :
1) Formal
Models
Formal Models beranggapan bahwa
lembaga/organisasi adalah sistem hirarki yang di dalamnya menejer mempergunakan
cara –cara rasional guna mencapai tujuan yang telah disepakati. Para menejer
memiliki kekuasaan yang disahkan oleh kedudukan formal mereka dalam lembaga
tersebut dan berhak mensponsori badan/lembaga untuk kegiatan organisasi atau
lembaganya (Bush, 2003, p.37).
Model ini memiliki tujuh keutamaan:
- Model tersebut
memberlakukan lembaga/organisasi sebagai system. Sebuah system yang di
dalamnya terdiri dari berbagai
elemen kelembagaan yang satu dengan
lainnya saling berhubungan. Termasuk sekolah, sebagai contoh, seluruh
bagian dan sub unit berhubungan satu dengan lainnya secara sistimatis.
- Formal Models
memberikan kedudukan penting kepada pemegang kewenangan dalam organisasi
tersebut. Susunan formal sering digambarkan dalam struktur organisasi , yang menunjukkan hubungan dan urutan
kewenangan antar anggota dalam lembaga tersebut.
- Dalam Formal
Models susunan kewenangan dalam organisasi/lembaga bersifat hirarki (yang
merupakan alat control para pemimpin atas stafnya). Para guru bertanggung
jawab kepada para ketua bidang yang secara berkala memberikan pelaporan
atas semua kegiatan di departemennya kepada kepala sekolah.
- Semua pendekatan
formal menggambarkan sekolah sebagai lembaga atau sarana pencapaian
tujuan. Lembaga tersebut dianggap memiliki tujuan resmi yang dapat
diterima dan diusahakan pencapaiannya oleh seluruh anggota organisasi
tersebut. Tujuan itu senndiri penetapannya disesuaikan dengan perkembangan
dan perubahan visii sekolah tersebut.
- Segala keputusan
yang dihasilkan/diambil merupakan hasil dari pemikiran yang seksama. Semua
pilihan (yang merupakan keputusan) dipertimbangkan dan dievaluasi dalam rangla pencapaian tujuan lembaga.
- Pendekatan -
pendekatan formal menghadirkan kewenangan para pemimpin karena jabatannya.
- Adanya penekanan
khusus berkenaan dengan pertanggungjawaban lembaga kepada pihak
sponsor. Di Negara penganut sistim
sentralisasi, kepala sekolah bertanggung jawab kepada pemerintah pusat,
sedang pada sistim desentralisasi mereka bertanggung jawab kepada
pemerintah daerah. Ketujuh cirri utama di atas hadir dengan kelbihan dan
kekurangannya masing-masing, namun kesemuanya adalah merupakan bagian dari
“Formal Models”.
2) Collegial
Models
Hal terpenting dari model ini (yang
popular ssejak tahun1980-an) mencakup keseluruhan teori yang menekankan bahwa
pengambilan keputusan penting berkenaan dengan tujuan lembaga yang hendak
dicapai melalui proses musyawarah. Kewenangan diberikan kepada individu –
individu yang dipandang berhak memiliki pemahaman terhadap tujuan lembaga (Bush
2003). “selagi para guru mendiskusikan dan mengerjakan segala sesuatunya
bersama-sama itulah kolegalitas” (Brundrett 1998 p. 305); “… sesuatu akan dicapai
manakala para guru bekerjasama , dan sesuatu akan hilang bila mereka tidak
bekerjasama” Little (1990 p. 166).
Collegial Models dan keutamaannya:
- Bersifat
Normatif. Keyakinan mendasar dari kolegalitas terbentuk berdasarkan
rencana atau pertimbangan belaka, dan tidak berdasar pada hasil penelitian
pelaksanaan pendidikan.
- Model ini
tampaknya cocok penerapannya pada lembaga seprti sekolah perguruan tinggi yang secara signifikan
memiliki sejumlah tenaga professional. Guru, selain memiliki kewenangan
untuk mempraktikkan keahliannya, kewenangan untuk mengatur dan mengelola
kegiatan kelasnya dalam rangka pencapaian tujuan, mereka juga perlu bekerja sama untuk
menentukan pendekatan filosofis yang cocok untuk kegiatan belajar mengajar
(Brundrett, 1998, p. 307). Para professional memiliki hak berperanserta
dalam proses pengambilan keputusan. Segala keputusan lebih baik
diinformasikan, dan lebih penting dari itu dapat terlaksana secara
efektif.
- Mereka
beranggapan bahwa norma umum yang dilaksanakan anggota organisasi
mngarahkan kegiatan managerial
lembaga meraih. tujuan kependidikan. Norma umum para professional
menyatakan keoptimisan bahwa selalu mungkin untuk mencapai kesepakatan
yang berkenaan dengan tujuan-tujuan dan kebijakan lembaga. “shared vision”
mendasari mereka dalam pengambilan keputusan.
- Jumlah peserta
dalam pengambilan keputusan merupakan elemen penting. Makin sedikit orang
berarti pendapat orang perorang makin dapat didengar dan diperhatikan.
Barangkali model ini dapat bekerja dengan baik di lembaga pendidikan
tingkat dasar (SD) atau sub-unit, dari pada lembaga tingkat menengah. Di
sekolah lanjutan dan perguruan tinggi pertemuan seluruh staff biasanya
hanya diperuntukkan pertukaran informasi. Model in memahami dan mengatasi kesulitan
tersebut dengan membangun asumsi bahwa guru memiliki perwakilan formal.
- Keputusan
tercapai karena konsensus. Keyakinan bahwa ada nilai-nilai umum dan tujuan
bersama meyakinkan mereka bahwa dapatlah kiranya dikehendaki dan
dimungkinkan untuk memecahkan permasalahan dengan kesepakatan. Proses
pencapaian keputusan bisa jadi diperlama dengan pencarian kesepakatan;
tetapi ini berkenaan dengan sesuatu yang berharga dan dapat diterima
sebagai upaya menjaga aura nilai-nilai dan keyajinan bersama. (Bush, 2003,
p. 65-67).
3) Political
Models
Political Models mencakup segala teori
yang menggolongkan penetapan keputusan merupakan proses penawaran. Analisis
focus pada pembagian kekuasaan dan pengaruh dalam organisasi dan pada penawaran
dan perundingan antara kelompok yang berkepentingan. Konflik dipandang sebagai
endemik (terjadi pada ranah tertentu dan sering serta biasa terjadi) dalam
organisasi, dan management diarahkan pada aturan yang sesuai dengan perilaku
politik. (Bush, 2003, p. 89). Baldridge’s (1971) meneliti di universitas di U.S.
menyimpulkan bahwa Political Models dibanding dengan pandangan Formal dan
Collegial Models, merupakan model yang paling tepat dan sesuai dengan dengan
kehidupan nyata di pendidikan yang lebih tinggi. Keutamaan Political Models
meliputi:
- Mereka
lebih mengutamakan kegiatan kelompok dari pada lembaga sebagai
keseluruhan. Ball (1987) merujuk pada “baronial politics” (p.221) dan
menguraikan bagaimana konflik antar pimpinan kelompok-kelompok kecil
terjadi. Konflik antar “baron” utamanya berkenaan dengan segala sumber
(segala hal yang menopang kelangsunagn hidup kelompok) dan kekuasaan.
- Menekankan
diri pada kepentingan (tujuan kelompok) dan kelompok yang berkepentingan.
Setiap individu menjadi anggota kelompok lebih dikarenakan mereka memiliki
berbagi kepentingan(tujuan, nilai, keinginan pengharapan, dan orientasi
lainnya) pribadi yang menuntunnya
untuk berbuat sesuai dengan caranya. (Morgan, 1997, p. 61).
- Model
ini menekankan penghentian konflik di organisasi. Kelompok-kelompok
kepentingan mencoba mencapai tujuannya masing-masing., yang terkadang
sangat berbeda dengan tujuan sub-sub unit yang ada dalam organisasi dan
mendorong terjadinya konflik di antara mereka. “Konflik akan selalu hadir
daalam organisasi…. Yang penyebabnya
adalah perbedaan berbagai kepentingan” Morgan, 1997, p. 167).
- Mereka
beranggapan bahwa tujuan organisasi itu tak tetap, ambigu bermakna ganda),
dan dipertunjukkan (kamilah yang paling…). Orang perorangan,
kelompok-kelompok kepentingan dan koalisi mempunyai tujuan, dan
masing-masing bergerak untuk
pencapaiannya,” …serta berusaha mengadakan tawar menawar dengan
sesama anggota atau koalisi untuk mempengaruhi penetuan tujuan dan proses
pembuatan keputusan” (Bolman & Deal, 1991, p. 190).
- “Tujuan-tujuan
dan keputusan organisasi merupakan hasil dari proses tawar-menawar,
diskusidan, perjokian (usaha mencapai tujuan pribadi dengan memanfaatkan
orang lain / pihak koalisi) untuk memperoleh kedudukan / pengaruh anggota
dari berbagai koalis” (Bolman & Deal, 1991, p. 185).
- Central
dari Political Theories (teori politik) adalah KEKUASAAN. Hasil dari
proses pengambilan keputusan yang rumit (perdebatan sengit) lebih
ditentukan berdasarkan kekuatan relatif dari para individu dan kelompok
kepentingan yang terlibat. “Kekuasaan/Kekuatan merupakan media /alat untuk
menyelesaikan segala bentuk konflik kepentingan. Kekuatan/kekuasaan
mempengaruhi/menentukan siapa yang dapat apa, kapan dan bagaimana . . . sumber kekuasaan adalah kaya
(uang, kewenangan dan pengaruh, ssrta factor pendukung lain) dan beragam”
(Morgan, 1997, p. 170-171)
4) Subjective
Models
Subjective Model focus pada anggotanya,
bukan pada organisasi secara keseluruhan dan sub-sub unitnya. Masing-masing
personal memiliki (subjektifitas) pandangan yang berbeda-beda terhadap
organisasi. Situasi dan setiap peristiwa memiliki arti yang berbeda untuk
setiap anggota organisasi. Organisasi digambarkan sebagai unit-unit yang
komplek, yang merefleksikan berbagai makna dan persepsi orang-orang di
dalamnya. Organisasi merupakan manifestasi (perwujudan) nilai-nilai dan keyakinan individu bukan
kenyataan konkrit seperti ditunjukkan dalam Formal Models.
“Sujective Models mengaanggap bahwa organisasi
merupakan kreasi/karya orang-orang yang terlibat di dalamnya. Anggota berusaha
dengan sungguh-sungguh untuk menerjemahkan berbagai situasi dalam berbagai cara
dan persepsi perorangan itu didasari latar belakang dan nilai-nilai yang mereka
miliki. Organisasi memiliki makna yang berbeda-beda untuk setiap anggota sesuai
dengan latar belakang pengalamannya. (P. 113) Mulai terkenal dalam manajemen kependidikan sebagai hasil
usaha Thomas Greenfield di era 1970-an dan 1980-an. Greenfield konsern pada
beberapa aspek teori pendukund yang menurutnya
cocok dan dominan di dalam organisasi kependidikan. Menurutnya teori
pendukung merupakan “bad theory” yang focus pada lembaga sebagai seperti
adanya. Mereka focus pada keyakinan dan
persepsi dari para anggotanya, bukan pada tingkat kelembagaan atau
kelompok-kelompok kepentingan; dan ini merupakan perbedaan mendasar antara
Subjective Models dan Formal Models, dant Hodgkinson (1993) memendang nya
sebagai pemisashan yang tak mungkin terjembatani. “Kenyataan tak akan pernah
lepas dari kebaikan dan keburukan (sebuah keyakinan), dan perorangan tidak akan
pernah menjadi tim” (p. xii)’
Keutamaan dari interpretive or
qualitative research sesuai ideyang dikemukakan Subjective Models:
- Focus pada
penanggapan individual dari pada keseluruhan organisasi. Subjek pandangan
individu merupakan isu sentral dalam penelitian kualitatif (Morison, 2002,
p. 19).
- Menekankan pada
pemaknaan atau interpretasi, didasarkan pada kegiatan para anggota.
“Seluruh kehidupan manusia terjalani dan terbangun dari subjektifitas
sudut pandang” (Morrison, 2002, p. 19).
- Hasil penelitian
diinterpretasikan menggunakan teori yang terpisah-pisah. “Teori harus baru
dan sedang/masih berkembang dan harus muncul dari situasi tertentu;
haruslah terurai pada data hasil penelitian. Theory seharusnya tidak
menyimpang dari penelitian tetapi mengikutinya” (Cohen et al, 2000, p.23)
5) Ambiguity
Models
Keutamaan Sentral Ambiguity Models
Dalam organisasi, model ini menekankan
ketidakmenentuan dan ketidakpastian (ambiguitas). (Bush, 2003): Ambiguity
Models menganggap bahwa ketidakpastian dan
situasi yang tak menentu merupakan keutamaan yang dominan dalam
organisasi. Tidak ada kejelasan tujuan lembaga, serta prose mereka tidak mudah
untuk dipahami.
Ambiguity models tergabung dengan
sebuah grup (para ahli teori), kebanyakan dari U.S. yeng membangun semua ide
meraka di era 1970-an.mereka kecewa terhadap Formal Models, yang mereka pandang
tidak cocok untuk kebanyakan organisasi. Julukan dari Ambiguity perspective
adalah the “garbage can” model (tong sampah), yang dekembangkan oleh Chohen and
March (1986). Segalanya terjadi hanya sekejap (sekali); teknologi berubah dan
sulit dimengerti; persekutuan, kepentingan/keutamaan, danpersepsi berubah;
masalah, solusi, kesempatan, penalaran/ide, manusia, serta hasil menyatu pada
satu cara yang membuat interpretasi mereka tidak jelas dan hubungannya juga tak
jelas (March, p. 36).
Keutamaan Ambiguity Models:
- Tidak ada
kejelasan berkenaan dengan tujuan organisasi. Banyak lembaga dianggap
memiliki tujuan yang tidak pasti dan sulit untuk dipahami, dengan kata
lain tujuan dan maksud menjadi hanya melalui pola laku anggota – anggota
organisasi (Chohan & March, 1986). Organisasi ada untuk bekerja pada
berbagai ketidakpastian dan miskin skala prioritas. Mereka lebih sering
menemukan skala prioritas (mana yang lebih utama) melalu aksi/tindakan,
tidak bertindak berdasarkan skala prioritas (p. 3). Lembaga Kependidikan
yang ada dipandang sebagai organsiasi penerap model tersebut. Sebab guru
bekerja dengan leluasanya (merdeka), boleh jadi jarang menemui kesulitan
dalam pencapaian keinginannya.
- Organisasi
memiliki permasalahan pemahaman terhadap tindakan/proses mereka yang sulit
dipahami. Di dalam pendidikan, tidaklah jelas bagaimana siswa memperoleh
pengetahuan dan ketrampilan sehingga proses pengajaran diliputi keraguan
dan ketidakpastian. Bell (1980) menyatakan bahwa ketidakpastian memasuki
fungsi sentrl sekolah.
- Teori
ambiguity (ketidakpastian) berpendapat bahwa organisasi dipersamakan
dengan pembabagan (layaknya drama). Sekolah dibagi menjadibeberapa
kelompok yang memiliki emikiran/tujuan internal berdasar nilai-nilai dan
tujuan umum. Hubungan antar kelompok lemah, tidak menentu dan tak terduga.
Weick (1976) menggunakan istilah “loose coupling” untuk menggambarkan
hubungan antar sub- unit. “Loose coupling . . . membawa konotasi dari
ketidaktetapan, kebuntuan (sesuatu masalah tak terpecahkan), dan kehampaan
yang kesemuanya secara secara potensial merupakan kelengkapan perekat
(lem)” (p.3) yang menjalankan organisasi bersama.
- Dengan
model tersebut, struktur keorganisasian dipandang sebagai permasalahan.
Seluruh komite dan lembaga formal
memiliki hak dan tanggungjawab, yang saling melampaui kewenangannya
dan dengan kewenangan yang diberikan kepada manager perseorangan.
Kekuasaan efektif dari setiap elemen dalam struktur berbeda dengan
persoalan dan sesuai dengan tingkatan partisipasi anggota komite.
- Model
ini lebih cocok untuk organisasi professional pelayanan pelanggan (biro
jasa konsultasi). Persyaratan bahwa para professional membuat keputusan
individual, dari pada bertindak dalam ketentuan rumusan managerial, menuntun
pada pandangan bahwa sekolah dan perguruan tinggi yang lebih besar
bertidak dalam suasana ketidakpastian.
- Mereka
menyatakan adanya alur/aliran partisipasi managemen organisasi.
“Partisipan didalam organisasi saling berbeda dalam waktu dan usaha yang mereka
berikan kepada organisasi; partisipan secara individu berbeda dari waktu
ke waktu. Sebagai hasil teori standar dari kekuasaan dan kegiatan memiih
tampaknya tidak penting.” (Chohen &March, 1986, p. 3).
- Sumber
lain dari teori ketidakpastian disediakan pesan-pesan yang dihasilkam oleh
lingkungan organisasi. Pada era di mana perubahan terjadi dengan cepatnya
(rapid change), sekolah boleh jadi menghadapi berbagai kesulitan dalam
pemahaman bebagai rmacam pesanyang disalurkan lewat lingkungan dan bertautan ketidaksepahaman dari
pesan-pesan tersebut. Ketidakpastian yang timbul dari luar menambah
ketidakpastian dari proses pembuatan keputusan dalam lembaga.
- Teori
ini mengedepankan hasil keputusan yang tak terencana. Tidak adanya tujuan
yang disepakati berarti segala keputusan tak punya keutamaan (tak focus).
Persoalan, solusi, hubungan antara anggota pilihan dengan takterduga
muncul melalu siatuasi kebingungan.
- Menekankan
pada keuntungan dari sistem desentralisasi. Dengan memberikan keruwetan
dan ketidakpastian pada organisasi, diharapkan bahwa banyak keputusan
sebaiknya dibebankan kepada sun-sub unit dan perorangan. Weick (1976)
berpendapat bahwa pembebanan memungkinkan organisasi tetap hidup,
sedangkan sub-unit tertentu terancam.
6) Cultural
Models
Apa yang kita maksud
dengan culture?
Menekankan diri pada
aspek-aspek informal. Fokus pada nilai-nilai, keyakinan, dan norma individual.
(Bush, 2003): Cultural Models meyakini bahwa nilai-nilai, keyakinan, serta
idiologi merupakan jantung dari organisasi. Individual memiliki ide dan
keutamaan, yang mempengaruhi bagaimana mereka bersikap dan bagaimana mereka
memandang perilaku anggota lainnya. Norma tersebut menjadi tradisi organisasi,
yang terkomunikasikan di dalam grupdan diperkuat dengan lambang/symbol dan
ritual (perbuatan) (p. 156). Beare, Caldwell, and Millikan (1992) menyatakan
bahwa kultur memungkinkan untuk menjelaskan kualitas unk dari individual dalam
organisasi . keunikan adalah perilaku kehidupan, nilai-nilai itu penting, dan
mereka seharusnya diayomi.
Societal Culture:
societal cultures utamanya membedakan pada tingkatan nilai-nilai dasar; artinya
lebih bersifat dapat terus diikuti dan perubahan terjadi untuk waktu yang
lama; sedangkan organizational cultures
lebih membedakan untuk tingkatan pelaksanaan/kegiatan yang ada /tampak, dan
setiap saat diubah dan diatur.
Keutamaan
Organisational Cultures:
- Focus
pada nilai-nilai dan keyakinan yang dimiliki para nggota organisasi. Focus
juga pada pemahaman kultur yang dominan dalam organisasi tetapi tidak
serta merta bahwa nilai-nilai individual selalu selaras satu samalainnya.
Boleh jadi ada sistem nilai yang berbeda yang menciptakan gambaran kenyataan-kenyataan keorganisasian dari
pada keseragaman kultur yang berlaku. Organisasi-organisasi besar yang
memiliki berbagai tujuan, secara khusus tampaknya memiliki berbagai
kultur.
- Menekankan
pengembangan norma-norma yang makna yang dimiliki atau berlaku. Asumsinya
bahwa interaksi antar anggota organisasi atau sub gup-nya, suatu waktu
menuju pada norma-norma perilaku yang secara bertahap menjadi keutamaan
budaya sekolah atau perguruan
tinggi. Norma kelompok ini terkadang mengikuti perkembangan dari
monokultur di sekolah dengan faham yang dimiliki dengan perantaraan
staff-“the way we do things around here-“inilah cara kami melakukan
segalanya di sini. Kami sadari, bagaimanapun, boleh jadi ada beberapa
sub-kultur berdasar pada professional dan kepentingan-kepentingan personal dari kelompok lain. Hal ini
secara internal tidak ada masalah, akan tetapi menghadapi kesulitan dalam
menjalani hubungan dengan kelompok lain yang norma-norma perilakunya berbeda. Budaya secara khusus
diekspresikan melalui ritual dan upacara, yang digunakan untuk mendukung
dan mengungkapkan keyaknan-keyakinan dan norma. Sekolah kaya akan
perlambang. “Perlambang central
untuk proses untuk pembentukan makna.” (Hoyle, 1986, p. 152).
- Organizational
cultur meyakini keberadaan pria dan wanita hebat (dijadikan tokoh
panutan/pahlawan) yang engespresikan nilai-nilai dan keyakinan organisasi.
Mereka mencontohkan/memerankan
perilaku organisasi.
Champbell-Evan (1993, p. 106)menekankan bahwa pria/wanita panutan
(tokoh pahlawan) adalah mereka yang keberhasilanya sesuai dengan budaya yang
berlaku.
Dari
uraian di atas maka saya berkesimpulan bahwa yang sesuai dengan kondisi
organisasi di daerah saya (Kabupaten Kepulauan Anambas Provinsi Kepulauan Riau)
yaitu cultural models. Hal
ini disebabkan karena di Kepulauan Anambas masih memegang teguh adat istiadat
setempat yang berpengaruh pada jalannya organisasi pendidikan di sana.
Aturan-aturan atau norma-norma tersebut juga tidak bertentangan dengan
nilai-nilai Pancasila yang menjadi ideologi bangsa Indonesia. Suatu aturan akan
mudah ditaati dan dijalankan jika sesuai dengan kepribadian dari masyarakat
tempat aturan tersebut dijalankan, sehingga aturan-aturan atau prinsip-prinsip
organisasi dalam culture models akan berjalan lancar dan dapat ditegakkan di
sana.
0 komentar:
Posting Komentar