PENGELOLAAN KELAS MELALUI PENDEKATAN EKLEKTIK DALAM
MEMBENTUK KARAKTER SISWA
Oleh : Nur Saumi
Prodi Administrasi Pendidikan Konsentrasi Kepengawasan
Universitas Negeri Medan
I. PENDAHULUAN
Sekolah
merupakan lembaga pendidikan yang memiliki ruang-ruang dimana dalam ruang kelas
tersebut tidak hanya sebatas sebuah ruang yang dibatasi oleh dinding-dinding
pada setiap sisinya, namun disana selain terdiri dari beberapa orang siswa yang
sedang menuntut ilmu dengan dipandu oleh seorang guru dalam proses
pembelajaran, terdapat pula berbagai macam sistem yang berjalan dalam ruang
kelas tersebut.
Kelas
merupakan organisasi kecil bagian dari sekolah dengan anggota beberapa siswa
yang memiliki keunikan dan karakteristik berbeda. Kegiatan sekolah yang
diperuntukkan bagi kelas baik agenda tahunan maupun kegiatan insidentil
dilakukan untuk memupuk rasa gotong royong, kerjasama, dan rasa memiliki
terhadap kelas, seperti lomba-lomba di hari ulang tahun sekolah, lomba untuk
memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia, lomba di hari Kartini, jumat
bersih, class meeting, dan lain
sebagainya.
Dalam
proses pembelajaran, ruang kelas adalah salah satu komponen penting yang
mendukung KBM (Proses Belajar Mengajar). Dengan adanya ruang kelas, proses KBM
dapat terlaksana dengan efektif dibandingkan dengan KBM tanpa ruang kelas,
misalnya rusaknya ruang kelas, dan lainnya.
Di dalam ruang kelas, terdapat individu-individu yang menempatinya dengan karakteristik yang berbeda. Ruang kelas sebagai tempat mereka bernaung hendaknya mampu berperan dalam pembentukan karakter yang tentu akan berguna untuk kehidupannya mendatang.
Di dalam ruang kelas, terdapat individu-individu yang menempatinya dengan karakteristik yang berbeda. Ruang kelas sebagai tempat mereka bernaung hendaknya mampu berperan dalam pembentukan karakter yang tentu akan berguna untuk kehidupannya mendatang.
Namun,
banyak yang beranggapan bahwa ruang kelas hanya sebatas sebagai tempat belajar,
namun sebenarnya disana terdapat sistem sosial serta interaksi yang lambat
laun, sadar ataupun tidak, akan berpengaruh terhadap pembentukan karakter
individu tersebut.
Mulyasa
(2013) meyatakan : “pendidikan karakter merupakan upaya untuk membantu
perkembangan jiwa anak-anak baik lahir maupun batin, dari sifat kodratinya
menuju ke arah peradaban yang manusiawi dan lebih baik”. Sebagai contoh dapat
dikemukakan misalnya anjuran atau suruhan terhadap anak-anak untuk duduk yang
baik, tidak berteriak-teriak agar tidak mengganggu orang lain, bersih badan,
rapih pakaian, hormat terhadap orang tua, menyayangi yang muda, menghormati
yang tua, menolong teman dan seterusnya merupakan proses pendidikan karakter.
Dewantara
(1967) pernah mengemukakan beberapa hal yang harus dilaksanakan dalam
pendidikan karakter, yakni ngerti-ngroso-nglakoni
(menyadari, menginsyafi, dan melakukan). Hal tersebut senada dengan
ungkapan orang Sunda di Jawa Barat, bahwa pendidikan karakter harus merujuk
pada adanya keselarasan antara tekad-ucap-lampah
(niat, ucapan/kata-kata dan perbuatan).
Pendidikan
karakter merupakan proses yang berkelanjutan dan tak pernah berakhir, sehingga
menghasilkan perbaikan kualitas yang berkesinambungan, yang ditujukan pada
terwujudnya sosok manusia masa depan, dan berakar pada nilai-nilai budaya
bangsa. Pendidikan karakter harus menumbuhkembangkan nilai-nilai filosofis dan
mengamalkan seluruh karakter bangsa secara utuh dan menyeluruh.
Untuk
mencapai tujuan tersebut maka semua pihak terutama dilingkungan sekolah harus
berperan penting, terutama guru sebagai pengelola kelas dalam fungsi yang
tepat. Sementara ini pemahaman mengenai pengelolaan kelas nampaknya masih
keliru. Seringkali pengelolaan kelas dipahami sebagai pengaturan ruangan kelas
yang berkaitan dengan sarana seperti tempat duduk, lemari buku, dan alat-alat
mengajar. Padahal pengaturan sarana belajar mengajar di kelas hanyalah sebagian
kecil saja, yang terutama adalah pengkondisian kelas, artinya bagaimana guru
merencanakan, mengatur, melakukan berbagai kegiatan di kelas, sehingga proses
belajar mengajar dapat berjalan dan berhasil dengan baik.
Pengelolaan
kelas merupakan suatu upaya yang
dilakukan oleh guru di dalam kelas dengan memberdayakan seluruh potensi kelas yang ada
seoptimal mungkin untuk menciptakan suasana atau kondisi kelas yang menunjang program pengajaran, agar siswa
ikut terlibat dan berperan serta dalam
proses pendidikan di sekolah sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Di samping itu, proses
belajar mengajar dapat terwujud dengan baik apabila terdapat interaksi yang
komunikatif antara guru dengan siswa, sesama siswa maupun dengan sumber belajar
lainnya.
Dalam
pengelolaan kelas, guru sebagai pemeran utama yang sangat menentukan berhasil
tidaknya siswa dalam belajar, harus senantiasa memperhatikan dan
menciptakan suasana kondusif di dalam kelas. Dengan adanya guru yang
berkompeten dan berkualitas diharapkan guru mampu dalam menciptakan
suasana belajar yang efektif dan efisien di dalam kelas.
Kelas
yang terdiri dari berbagai sifat dan karakter siswa membutuhkan pengelolaan
yang baik agar kegiatan dan aktivitas dalam kelas berjalan lancar dan maksimal.
Guru harus memiliki keterampilan dalam pengelolaan kelas agar terwujudnya
suasana nyaman bagi siswa dalam melakukan kegiatan belajar. Guru harus
memperhatikan semua aspek yang berkaitan dengan siswa, baik tata letak duduk,
hiasan dinding, kebersihan kelas, kondisi fisik, kondisi sosial bahkan kondisi
emosional. Karena dengan pengetahuan tentang segala aspek pribadi siswa, guru
dapat dengan mudah mengelola kelas agar dapat menciptakan kegitan pembelajaran
yang maksimal serta pembentukan karakter siswa yang baik.
Tanpa pengelolaan
kelas yang baik
oleh seorang guru, mengakibatkan siswa kurang memiliki
kesempatan untuk mengaktualisasikan diri sehingga siswa tidak memiliki sikap
percaya diri. Siswa merasakan adanya ketimpangan dalam kegiatan dikelas. Sifat
cemburu dapat saja muncul jika guru hanya memperhatikan siswa yang pintar dan
baik saja, sedangkan yang kurang pintar merasa dikucilkan dan malah membuat
dirinya rendah diri. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan nilai-nilai
karakter bangsa.
Wilford A. Weber (1986) menyatakan
bahwa pendekatan dengan cara menggabungkan semua aspek terbaik dari berbagai
pendekatan manajemen kelas untuk menciptakan suatu kebulatan atau keseluruhan
yang bermakna, yang secara filosofis, teoritis, dan/atau psikologis dinilai
benar, yang bagi guru merupakan sumber pemilihan perilaku pengelolaan tertentu
yang sesuai dengan situasi disebut pendekatan eklektik.
Pendekatan ini menekankan pada potensialitas,
kreatifitas, dan inisiatif wali atau guru kelas dalam memilih berbagai
pendekatan tersebut berdasarkan situasi yang dihadapinya. Guru
memilih dan menggabungkan secara bebas pendekatan tersebut sesuai dengan
kemampuan guru untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi kelas yang memberi
kemungkinan proses belajar mengajar berjalan secara efektif dan efisien sehingga mampu membentuk karakter siswa yang baik.
II. PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pengelolaan Kelas
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan membagi pengertian pengelolaan
kelas ke dalam
lima defenisi
yaitu:
1.
Definisi
pertama, memandang bahwa pengelolaan kelas sebagai proses
untuk mengontrol
tingkah laku siswa. Pandangan ini bersifat
otoritatif. Dalam kaitan ini tugas guru ialah menciptakan dan
memelihara ketertiban suasana kelas. Penggunaan disiplin amat
diutamakan. Menurut pandangan ini istilah pengelolaan kelas dan
disiplin kelas dipakai sebagai sinonim. Secara
lebih khusus,
definisi pertama
ini
dapat
berbunyi:
pengelolaan
kelas ialah
seperangkat kegiatan
guru
untuk
menciptakan
dan
mempertahankan ketertiban
suasana kelas.
2.
Definisi
kedua bertolak belakang dengan definisi pertama diatas, yaitu
yang didasarkan atas pandangan yang bersifat permisif. Pandangan
ini menekankan bahwa
tugas guru ialah memaksimalkan perwujudan
kebebasan siswa. Dalam hal ini guru membantu siswa untuk
merasa bebas melakukan hal yang ingin dilakukannya. Berbuat sebaliknya berarti guru menghambat atau menghalangi perkembangan
anak secara alamiah. Dengan demikian, definisi kedua dapat berbunyi:
pengelolaan kelas
ialah seperangkat kegiatan guru untuk memaksimalkan kebebasan siswa. Meskipun
kedua pandangan diatas,
pandangan otortatif dan permisif,
mempunyai sejumlah pengikut,
namun keduanya dianggap kurang
efektif bahkan kurang
bertanggungjawab. Pandangan otoritatif adalah kurang manusiawi
sedangkan pandangan
permisif kurang realistik.
3.
Definisi
ketiga didasarkan pada prinsip-prinsip pengubahan tingkah laku (behavioral modification).
Dalam
kaitan ini pengelolaan kelas dipandang sebagai proses pengubahan tingkah laku siswa. Peranan guru ialah
mengembangkan
dan mengurangi atau meniadakan tingkah laku yang tidak diinginkan.
Secara singkat, guru membantu siswa
dalam mempelajari tingkah
laku
yang
tepat melalui penerapan
prinsip-prinsip yang
diambil dari teori penguatan (reinforcement). Definisi yang
didasarkan pada pandangan ini dapat berbunyi:
pengelolaan kelas
ialah seperangkat kegiatan guru untuk
mengembangkan tingkah laku siswa yang diinginkan dan mengurangi
atau meniadakan
tingkah laku yang tidak
diinginkan.
4.
Definisi
keempat memandang
pengelolaan kelas sebagai proses penciptaan iklim sosio-emosional yang positif didalam kelas.
Pandangan
ini mempunyai anggaran dasar bahwa kegiatan
belajar akan berkembang secara maksimal
di
dalam kelas yang beriklim positif, yaitu suasana hubungan interpersonal yang
baik antara guru
dengan siswa dan siswa dengan
siswa. Untuk
terciptanya suasana seperti ini guru memegang
peranan kunci. Dengan demikian peranan
guru ialah mengembangkan iklim sosio-emosional kelas yang
positif melalui pertumbuhan hubungan interpersonal yang
sehat. Dalam kaitan
ini definisi keempat dapat berbunyi: pengelolaan
kelas ialah seperangkat kegiatan
guru
untuk mengembangkan hubungan
interpersonal yang baik dan iklim sosio-emosional
kelas yang positif.
5.
Definisi
kelima bertolak
dari anggapan
bahwa kelas
merupakan sistem
sosial
dengan proses kelompok
(group
process) sebagai
intinya.
Dalam kaitan ini dipakailah
anggapan
dasar bahwa pengajaran berlangsung
dalam kaitannya dengan suatu kelompok. Dengan
demikian, kehidupan kelas sebagai kelompok dipandang
mempunyai pengaruh yang
amat berarti terhadap kegiatan belajar, meskipun
belajar dianggap sebagai proses individual. Peranan guru ialah
mendorong berkembangnya dan berprestasinya sistem kelas yang
efektif. Definisi
kelima dapat berbunyi: pengelolaan
kelas ialah seperangkat kegiatan guru
untuk menumbuhkan dan mempertahankan
organisasi
kelas yang
efektif.
Berdasarkan lima defenisi yang dirujuk dari Dierktorat
Jenderal
Pendidikan
Tinggi dan Kebudayaan
di atas
maka seorang guru dapat dikatakan mengelola kelas dengan baik jika guru tersebut dapat mewujudkan kelima
suasana belajar sebagaimana yang telah dijelaskan pada uraian di atas. Pengertian baik dalam pengelolaan kelas dalam tanda kutip adalah sesuai dengan situasi dan kondisi siswa juga sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah dimana guru itu
bertugas.
Oleh sebab itu, jika kelima suasana belajar
itu
dapat terwujud maka meskipun membutuhkan sebuah proses yang bertahap diharapkan akan
terbentuklah sedikitnya lima karakter pada diri siswa yaitu karakter demokrasi, toleransi, disiplin, kreatif dan
komunikatif.
B. Karakter Siswa
Pengertian karakter
menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi
pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”.Adapun
berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan
berwatak”.Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada
serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors),
motivasi (motivations), dan keterampilan (skills).
Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan
memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau
tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek
lainnya dikatakan orang berkarakter jelek.Sebaliknya, orang yang perilakunya
sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Menurut David
Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai
berikut: “character education is the deliberate effort to help people
understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about
the kind of character we want for our children, it is clear that we want them
to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do
what they believe to be right, even in the face of pressure from without and
temptation from within”.
Lebih lanjut
dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru,
yang mampu mempengaruhi karakter siswa. Guru membantu membentuk watak siswa.
Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau
menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait
lainnya.
Menurut T. Ramli
(2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan
pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk
pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat,
dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik,
warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu
masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial
tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya.
Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks
pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai
luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka
membina kepribadian generasi muda.
Dalam Kamus
Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain.
Sedangkan menurut Imam Ghazali karakter adalah suatu sifat yang tertanam dalam
jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa melakukan
pertimbangan fikiran. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti
yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang.
Pendidikan karakter
berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal
(bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the
golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila
berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa
nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaan-Nya (alam
dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli,
dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah,
keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan
cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri
dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung
jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan
punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak
kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi
nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut
atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah
itu sendiri.
Menurut Ratna
Megawangi, Founder Indonesia Heritage Foundation, ada tiga tahap pembentukan
karakter:
a.
Moral Knowing: Memahamkan dengan baik pada anak tentang arti kebaikan.
Mengapa harus berperilaku baik. Untuk apa berperilaku baik. Dan apa manfaat
berperilaku baik.
b.
Moral Feeling: Membangun kecintaan berperilaku baik pada anak yang
akan menjadi sumber energi anak untuk berperilaku baik. Membentuk karakter adalah
dengan cara menumbuhkannya.
c.
Moral Action: Bagaimana membuat pengetahuan moral menjadi tindakan
nyata. Moral action ini merupakan outcome dari dua tahap sebelumnya dan harus
dilakukan berulang-ulang agar menjadi moral behavior
Dengan tiga tahapan
ini, proses pembentukan karakter akan jauh dari kesan dan praktik doktrinasi
yang menekan, justru sebaliknya, siswa akan mencintai berbuat baik karena
dorongan internal dari dalam dirinya sendiri.
Katherine M.H. Blackford dan Arthur Newcomb dalam tulisannya tentang analyzing character menjelaskan bahwa orang-orang yang berkarakter yang bisa
diharapkan
akan maju dan mampu membawa kemajuan adalah mereka yang memiliki ciri-ciri
pokok antara lain: kejujuran, bisa dipercaya, setia, bijaksana, penuh kehati- hatian, antusias, berani, tabah, penuh integritas dan bisa diandalkan.
Karakter berkaitan dengan personality walaupun ada perbedaannya. Personaliti
merupakan trait bawaan sejak lahir, sedangkan karakter merupakan
perilaku hasil pembelajaran. Anak lahir dengan trait personality tertentu, ada yang periang, murah senyum dan terbuka.
Karakter pada dasarnya diperoleh melalui interaksi dengan teman, orang tua, guru
dan lingkungan. Karakter diperoleh dari hasil
pembelajaran secara langsung atau
pengamatan
terhadap periaku orang lain. Pembelajaran langsung bisa berupa ceramah atau diskusi tentang karakter, sedangkan pengamatan diperoleh melalui
pengalaman
sehari-hari apa yang dilihat dilingkungan.
Nilai-nilai karakter yang sudah dirumuskan dalam disain induk pendidikan karakter adalah:
NO
|
Nilai
|
Deskripsi
|
1
|
Religius
|
sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan
ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan
ibadah agama
lain dan hidup rukun dengan
pemeluk agama
lain.
|
2
|
Jujur
|
Perilaku yang didasarkan
pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat
dipercaya
dalam perkataan,
tindakan dan pekerjaan
|
3
|
Toleran
|
Sikap dan tindakan yang
menghargai perbedaan
agama, suku, etnis, penda[at, sikap
dan tindakan orang lain yang berbeda dari
dirinya
|
4
|
Disiplin
|
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan
patuh pada berbagai
ketentuan dan
peraturan
|
5
|
Kerja
keras
|
perilaku yang
menunjukkan upaya
sungguh- sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan
belajar dan
tugas, serta
menyelesaikan tugas
dengan sebaik-baiknya
|
6
|
Kreatif
|
Berfikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari
sesuatu yang telah dimiliki
|
7
|
Mandiri
|
Sikap dan perilaku yang
tidak
muah
tergantung pada orang lain
dalam menyelesaikan tugas-tugas
|
8
|
Demokratis
|
Cara berfikir, bersikap
dan
bertindak yang
menilai sama hak dan kewajiban dirina dan
orang lain
|
9
|
Rasa ingin tahu
|
Sikap dan tindakan
yang selalu
berupaya
untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari
sesuatu yang dipelajarinya, dilihat dan
didengar
|
10
|
Semangat kebangsaan
|
Cara berfikir, bertindak dan berwawasan yang
menempatkan
kepentingan bangsa dan Negara
diatas kepentingan diri dan kelompoknya
|
11
|
Cinta tanah air
|
Cara berfikir, bersikap
dan
berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian dan
penghargaan yang tinggi
terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi
dan politik bangsa.
|
12
|
Menghargai prestasi
|
Sikap dan
tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu
yang berguna bagi masyarakat dan
mengakui
serta menghormati kebersihan orang lain
|
13
|
Bersahabat/komunikatif
|
Tindakan yang memperlihatkan
rasa senang berbicara,
bergaul dan bekerja sama dengan
orang lain
|
14
|
Cinta damai
|
Sikap, perkataan
dan tindakan ang menyebabkan orang
lain merasa senang dan
aman atas kehadiran dirinya
|
15
|
Gemar membaca
|
Kebiasaan
menyediakan waktu
untuk
membaca
berbagai badaan
yang memberikan kebajikan bagi dirinya
|
16
|
Peduli lingkungan
|
Sikap dan
tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan pada lingkungan alam
disekitarnya
dan mengembangkan
upaya- upaya untuk
memperbaiki kerusakan alam yang
sudah terjadi
|
17
|
Peduli sosial
|
Sikap dan
tindakan yang selalu ingin member bantuan pada orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan
|
18
|
Tanggung jawab
|
ikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas
dan kewajibannya yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri
sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam, social
dan budaya), Negara dan Tuhan Yang
Maha
Esa
|
Nilai-nilai dalam
pendidikan karakter diatas bukan diberikan sebagai mata
pelajaran baru tetapi diintegrasikan dan dikembangkan secara komprehensif melalui semua mata pelajaran, budaya sekolah dan
pengembangan diri
siswa dalam berbagai aktifitas sekolah, intra dan ekstra kurikuler serta komitmen para guru serta seluruh staf dalam
interaksi mereka
di lingkungan sekolah dan di
luar lingkungan sekolah.
C. Pendekatan Dalam Pengelolaan Kelas
Tugas guru dalam konteks ini membantu mengkondisikan siswa di kelas pada sikap, perilaku atau kepribadian yang benar, agar mampu menjadi agents
of modernization bagi dirinya sendiri, lingkungannya, masyarakat dan siapa saja yang dijumpai tanpa
harus membedakan suku, agama, ras dan golongan. Maksudnya pelaksanaan dan proses pembelajaran harus mampu membantu siswa agar menjadi manusia yang berbudaya
tinggi dan bernilai tinggi (bermoral, berwatak, bertanggungjawab dan bersosialisasi).
Berdasarkan disain pembinaan karakter bangsa oleh kementrian pendidikan nasional, bahwa
nilai-nilai
karakter bangsa tidak diajarkan
tapi
dikembangkan menjadi kepribadian siswa,
melalui
proses
pembelajaran, interaksi siswa
dengan guru, siswa
dengan siswa,
serta
implementasi
berbagai
peraturan
sekolah, dan
suasana sekolah secara keseluruhan yang mendukung pembinaan pribadi siswa menjadi anak yang religious, jujur, peduli terhadap sesama, peduli terhadap lingkungan dan berbagai nilai karakter lainnya.
Menurut H. Koontz & O’Donnel (Aldag, 1987),
pengelolaan berhubungan dengan pencapaian suatu tujuan yang dilakukan melalui
dan dengan orang lain. Hampir senada dengan pendapat tersebut, Siregar (1987)
menyatakan bahwa pengelolaan adalah proses yang membeda-bedakan atas: perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan pelaksanaan dan pengendalian, dengan memanfaatkan
ilmu dan seni, agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Pengelolaan
juga didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang memiliki tujuan bersama dan
bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam pengelolaan terkandung pengertian pemanfaatan
sumber daya untuk tercapainya tujuan. Sumberdaya adalah unsur-unsur dalam
pengelolaan, yaitu: manusia (man), bahan (materials),
mesin/peralatan (machines), metode/cara kerja (methods),
modal uang (money), informasi(information). Sumberdaya
bersifat terbatas, sehingga tugas manajer adalah mengelola keterbatasan sumber
daya secara efisien dan efektif agar tujuan tercapai.
Proses pengelolaan adalah proses yang berlangsung terus
menerus, dimulai dari: membuat perencanaan dan pembuatan keputusan (planning);
mengorganisasikan sumberdaya yang dimiliki(organizing); menerapkan
kepemimpinan untuk menggerakkan sumberdaya (actuating);
melaksanakan pengendalian (controlling). Proses di atas sering
disebut dengan pendekatan Barat dengan konsep POAC (Planning-Organizing-Actuating-Controlling),
berbeda dengan pendekatan Jepang yang dikenal dengan pendekatan PDCA (Plan-Do-Check-Action).
Dalam konteks dunia pendidikan, yang dimaksudkan dengan manajemen
pendidikan/sekolah adalah suatu proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
pendidikan dalam upaya untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan visi,
misi, dan tujuan pendidikan itu sendiri.
Berdasarkan pada uraian sebelumnya, keterkaitan antara
nilai-nilai perilaku dalam komponen-komponen moral karakter (knowing, feeling
dan action) terhadap Tuhan YME, diri sendiri, sesama, lingkungan, kebangsaan,
dan keinternasionalan membentuk suatu karakter manusia yang unggul (baik). Penyelenggaraan
pendidikan karakter memerlukan pengelolaan yang memadai. Pengelolaan yang
dimaksudkan adalah bagaimana pembentukan karakter dalam pendidikan
direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan secara memadai.
Sebagai suatu sistem pendidikan, maka dalam pendidikan
karakter juga terdiri dari unsur-unsur pendidikan yang selanjutnya akan
dikelola melalui bidang-bidang perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian.
Unsur-unsur pendidikan karakter yang akan direncanakan, dilaksanakan, dan
dikendalikan tersebut antara lain meliputi: (a)nilai-nilai karakter kompetensi
lulusan, (b)muatan kurikulum nilai-nilai karakter, (c) nilai-nilai karakter
dalam pembelajaran, (d)nilai-nilai karakter pendidik dan tenaga kependidikan,
dan (e) nilai-nilai karakter pembinaan siswa.
Pemerintah telah menetapkan bahwa lulusan siswa dalam
suatu sekolah hendaknya memiliki nilai-nilai karakter, yaitu mempunyai
kemampuan dan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Nilai-nilai karakter yang ada dalam pengelolaan kelas adalah
disiplin, terbuka, bertanggungjawab, kerjasama, cermat dan partisipatif.
Hal-hal yang perlu diperhatikan, khususnya guru baru pada
pertemuan pertama dengan siswa dikelas sebagai berikut : (1) Bersikap tenang
dan percaya diri sendiri; (2) Tidak menunjukkan rasa cemas, muka masam atau
sikap yang tidak simpatik; (3) Memperkenalkan diri; (4) Melaksanakan
pembelajaran dengan lancer dan tertib; dan (5) Bertindak disiplin, baik
terhadap siswa maupun terhadap diri sendiri.
Terdapat dua macam masalah pengelolaan kelas, yaitu :
1. Masalah Individual :
1. Masalah Individual :
a.
Attention getting behaviors (pola
perilaku mencari perhatian).
b.
Power seeking behaviors (pola perilaku menunjukkan
kekuatan)
c.
Revenge seeking behaviors (pola
perilaku menunjukkan balas dendam).
d.
Helplessness (peragaan ketidakmampuan).
Keempat
masalah individual tersebut akan tampak dalam berbagai bentuk tindakan atau
perilaku menyimpang, yang tidak hanya akan merugikan dirinya sendiri tetapi
juga dapat merugikan orang lain atau kelompok.
2.
Masalah Kelompok :
a.
Kelas kurang kohesif, karena alasan jenis kelamin, suku,
tingkatan sosial ekonomi, dan sebagainya.
b.
Penyimpangan dari norma-norma perilaku yang telah
disepakati sebelumnya.
c.
Kelas mereaksi secara negatif terhadap salah seorang
anggotanya.
d.
“Membombong” anggota kelas yang melanggar norma kelompok.
e.
Kelompok cenderung mudah dialihkan perhatiannya dari tugas
yang tengah digarap.
f.
Semangat kerja rendah atau semacam aksi protes kepada
guru, karena menganggap tugas yang diberikan kurang fair. Kelas kurang mampu
menyesuakan diri dengan keadaan baru.
D. Pendekatan Eklektik Dalam Membentuk Karakter Siswa
Pendekatan eklektik (eclectic approach) ini
menekankan pada potensialitas, kreatifitas, dan inisiatif wali atau guru kelas
dalam memilih berbagai pendekatan tersebut berdasarkan situasi yang
dihadapinya. Penggunaan pendekatan itu dalam suatu situasi mungkin dipergunakan
salah satu dan dalam situasi lain mungkin harus mengkombinasikan dan atau
ketiga pendekatan tersebut.
Pendekatan eklektik disebut juga pendekatan pluralistik, yaitu
pengelolaan kelas yang berusaha menggunakan berbagai macam pendekatan yang
memiliki potensi untuk dapat menciptakan dan mempertahankan suatu kondisi
memungkinkan proses belajar mengajar berjalan efektif dan efisien.
Guru memilih dan
menggabungkan secara bebas pendekatan tersebut sesuai dengan kemampuan dan
selama maksud dan penggunaannnya untuk pengelolaan kelas disini adalah suatu
set (rumpun) kegiatan guru untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi kelas
yang memberi kemungkinan proses belajar mengajar berjalan secara efektif dan
efisien.
Menurut James
Cooper (1995) mengemukakan tiga pendekatan dalam pengelolaan kelas , yaitu
pendekatan modifikasi perilaku, pendekatan sosio-emosional, dan pendekatan
proses kelompok. Berikut penjelasan ketiga pendekatan di atas adalah sebagai
berikut :
1.
Pendekatan modifikasi perilaku
(Behavior-Modification Approach)
Pendekatan ini
didasari oleh psikologi behavioral yang menganggap perilaku manusia yang baik
maupun yang tidak baik merupakan hasil belajar. Oleh sebab itu perlu membentuk,
mempertahankan perilaku yang dikehendaki dan mengurangi atau menghilangkan
perilaku yang tidak dikehendaki.
Berdasarkan
pendekatan ini maka penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam pendekatan
modifikasi perilaku aktivitas di utamakan pada penguatan tingkah laku peserta
didik yang baik maupun tingkah laku peserta didik yang kurang baik, dengan
pendekatan ini diharapkan guru dapat merubah tingkah laku peserta didik sesuai
dengan yang diharapkan oleh guru. Teknik-teknik yang dapat diterapkan adalah:
a.
Penguatan negatif Penguatan negatif adalah pengurangan
hingga penghilangan stimulus yang tidak menyenangkan untuk mendorong
terulangnya perilaku yang diharapkan.
b.
Penghapusan Penghapusan adalah usaha mengubah tingkah
laku subyek didik dengan cara menghentikan respon terhadap tingkah laku mereka
yang semula dikuatkan oleh respon itu.
c.
Hukuman Yaitu penghentian secara langsung perilaku anak
yang menyimpang. Sebenarnya penguatan negatif dan penghapusan merupakan hukuman
yang tidak langsung. Dengan kata lain hukuman adalah pengajuan stimulus tidak
menyenangkan untuk menghilangkan dengan segera tingkah laku subyek didik yang
tidak diharapkan.
2. Pendekatan Iklim
Sosio-Emosional (Socio-Emotional Climate Approach)
Pendekatan
sosio-emosional bertolak dari psikologi klinis dan konseling. Pandangannya
adalah bahwa proses belajar-mengajar yang berhasil mempersyaratkan hubungan
sosio-emosional yang baik antara guru subyek didik. Dapat disimpulkan bahwa
pendekatan ini mengutamakan pada hubungan yang baik antar personal di dalam
kelas, baik itu guru dengan peserta didik maupun peserta didik dengan peserta
didik, sehingga peserta didik merasa aman dan senang berada dalam kelas serta
berpartisipasi dalam proses belajar mengajar dalam kelas. Dengan kata lain
peran guru sangat penting dalam menciptakan iklim belajar yang kondusif dan
guru diharapkan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh peserta didik serta
mampu menyikapinya secara demokratis
3. Pendekatan Proses
Kelompok (Group-Process Approach)
Pendekatan proses
kelompok berangkat dari psikologi sosial dan dinamika kelompok, dengan anggapan
bahwa proses belajar-mengajar yang efektif dan efisien berlangsung dalam
konteks kelompok. Untuk itu guru harus mengusahakan agar kelas menjadi suatu
ikatan kelompok yang kuat. Dapat penulis simpulkan pendekatan proses kelompok
ini bahwa pengalaman belajar peserta didik didapat dari kegiatan kelompok di
mana dalam kelompok terdapat norma-norma yang harus diikuti oleh anggotanya,
terdapat tujuan yang ingin dicapai, adanya hubungan timbal balik antar anggota
kelompok untuk mencapai tujuan, serta memelihara kelompok yang produktif.
Dengan
perpaduan beberapa pendekatan pengelolaan kelas, siswa mengalami pembelajaran
yang akan membentuk karakter siswa. Pendekatan kekuasaan dapat membentuk
disiplin siswa, pendekatan ancaman dapat membentuk karakter tanggung jawab,
pendekatan kelompok dapat membentuk karakter sosial siswa, dsb. Yang kesemuanya
berpadu dalam pengelolaan serta proses pembelajaran.
III. KESIMPULAN DAN SARAN
Pengelolaan kelas yang baik sangat efektif untuk membentuk nilai karakter
bangsa sebab jika seorang guru dapat mengimplementasikan pengelolaan kelas dengan
baik di dalam kegiatan pembelajaran, maka akan menghasilkan suasana pembelajaran yang
baik.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan
kelas merupakan seperangkat perilaku yang kompleks dimana guru menggunakan
untuk menata dan memelihara kondisi kelas yang akan memampukan para siswa
mencapai tujuan pembelajaran secara efisien.
Faktor yang mempengaruhi pengelolaan kelas adalah kurikulum, bangunan dan
sarana, guru, siswa dan dinamika kelas. Pendidikan karakter adalah suatu sistem
penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut. Penyelenggaraan pendidikan karakter memerlukan
pengelolaan yang memadai. Pengelolaan yang dimaksudkan adalah bagaimana
pembentukan karakter dalam pendidikan direncanakan, dilaksanakan, dan
dikendalikan secara memadai.
Agar seorang guru dapat
mengimplementasikan pengelolaan
kelas dengan baik di dalam kegiatan pembelajaran, maka
sebenarnya ada beberapa usaha yang dapat dilakukan oleh seorang guru yaitu :
1.
Guru harus banyak membaca referensi-referensi yang berkaitan dengan pengelolaan kelas sebab tidak akan mungkin
pengelolaan kelas dapat terimplementasi dengan baik di dalam kegiatan pembelajaran jika
seorang
guru kurang
memiliki wawasan tentang pengelolaan kelas tersebut. Referensi
yang berkaitan dengan pengelolaan kelas sebenarnya juga cukup luas seperti
psikologi pendidikan, psikologi belajar, dan
lain sebagainya.
2.
Selain memiliki wawasan yang cukup luas tentang pengelolaan kelas sebenarnya guru juga harus difasilitasi dengan sarana dan prasarana yang baik. Ini adalah tugas dari fihak pengelola sekolah sebab tanpa didukung oleh sarana dan prasarana yang baik maka sebaik apapun wawasan guru tentang
pengelolaan kelas tentu
tidak akan memberikan hasil yang maksimal.
3.
Selain memberikan fasilitas sarana dan prasarana yang baik kepada guru, jika
mampu maka sebaiknya pihak pengelola sekolah juga dapat mengajak guru
untuk melakukan studi banding
atau observasi lapangan ke sekolah-sekolah yang
sudah cukup baik dalam melaksanakan pengelolaan kelas sehingga guru memiliki pengalaman yang lebih luas dan lebih variatif.
0 komentar:
Posting Komentar